Dalam gugusan bintang ini, akhirnya kita sampai pada Muhammad Baha’uddin Uways al-Bukhari QS, yang dikenal sebagai Syah Naqsyband QS, Imam dari Tarekat Naqsybandi yang tiada tandingannya. Beliau lahir pada tahun 1317 M, di desa Qasr al-‘Arifan, di dekat Bukhara. Setelah beliau menguasai ilmu syari’ah pada usia muda 18 tahun, beliau tetap menemani Syekh Muhammad Baba as-Samasi QS, yang merupakan seorang ahli hadis di Asia Tengah. Sepeninggal Syekhnya, beliau mengikuti Syekh Amir Kulal QS yang melanjutkan dan menyempurnakan pelatihannya baik dalam ilmu lahir maupun batin.
Murid-murid Syekh Amir Kulal QS biasanya melakukan zikir zahar (dengan suara keras) ketika duduk bersama, dan zikir khafi (dalam hati) bilamana sedang sendirian. Walau tak pernah mengkritik ataupun keberatan, namun Syah Naqsyband QS lebih menyukai zikir khafi. Mengenai hal ini, beliau berkata, ”Terdapat dua cara berzikir; satu khafi dan lainnya zahar. Saya memilih yang khafi karena ia lebih kuat dan oleh karenanya lebih disukai.” Kemudian zikir khafi inilah yang menjadi ciri pembeda Naqsybandiyya di antara tarekat-tarekat lainnya.
Syah Naqsyband QS melaksanakan ibadah Haji tiga kali, di mana setelah itu, beliau tinggal di Merv dan Bukhara. Menjelang akhir hayatnya, beliau kembali ke kampung halamannya, Qasr al-‘Arifan. Pengajarannya dikutip di mana-mana dan namanya disebut oleh siapa saja. Pengunjung berdatangan dari berbagai penjuru untuk meminta nasihatnya. Mereka menerima pengajaran di sekolah dan masjidnya, suatu kompleks yang dapat menampung lebih dari lima ribu orang. Sekolah ini merupakan pusat studi Islam yang terbesar di Asia Tengah dan masih ada hingga saat ini. Baru-baru ini bangunan tersebut direnovasi dan dibuka kembali setelah bertahan selama tujuh puluh tahun dalam masa pemerintahan komunis.
Pengajaran Syah Naqsyband QS mengubah hati para muridnya dari kegelapan hingga menemukan pencerahan. Beliau terus mengajarkan ilmu tentang Keesaan Allah SWT yang telah dikhususkan oleh para pendahulunya, dengan penekanan pada ihsan bagi para pengikutnya sesuai hadis Rasulullah SAW, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah SWT seolah-olah engkau melihat-Nya.”
Ketika Syah Naqsyband QS wafat, beliau dimakamkan di kebunnya, sebagaimana permintaannya. Raja-raja penerus Bukhara merawat madrasah dan masjidnya. Mereka memperluas dan menambahkan waqafnya.
Syekh-Syekh penerus Tarekat Naqsybandi menuliskan banyak biografi tentang Syah Naqsyband QS. Salah satunya adalah Mas’ud al-Bukhari QS dan Syarif al-Jarjani QS, yang menyusun Awrad Baha’uddin QS yang menceritakan tentang kehidupan beliau dan karya-karyanya termasuk fatwanya. Syekh Muhammad Parsa QS, yang wafat di Madinah pada tahun 822 H (1419 M) menulis Risalah Qudsiyyah yang di dalamnya terdapat tulisan tentang kehidupan Syah Naqsyband QS, kehebatan-kehebatannya, serta pengajaran-pengajarannya.
Tulisan-tulisan warisan Syah Naqsyband QS mencakup beberapa buku. Di antaranya adalah Awrad an-Naqsybandiyyah, wiridan Syah Naqsyband QS. Buku lainnya adalah Tanbih al-Ghafilin. Buku ketiga adalah Maslakul Anwar. Yang keempat adalah Hidayyatu-s-Salikan wa Tuhfat at-Talibin. Beliau meninggalkan banyak pernyataan hormat memuji Rasulullah SAW dan beliau pun menulis banyak aturan. Salah satu pendapatnya adalah bahwa semua jenis dan praktik peribadatan yang berbeda, baik yang wajib maupun sunnah, diperbolehkan bagi para muridnya dalam rangka mencapai kebenaran. Salat, puasa, zakat, mujahadah (berusaha keras) dan zuhud (penyangkalan diri) ditekankan sebagai jalan menuju Allah SWT.
Syah Naqsyband QS membangun sekolahnya atas dasar pembaharuan pengajaran agama Islam. Beliau menggarisbawahi pentingnya mengamalkan al-Qur’an dan pengajaran Sunnah. Ketika mereka bertanya kepada beliau, “Apa persyaratan bagi yang ingin mengikuti tarekatmu?” Beliau menjawab, ”Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.” Beliau lalu melanjutkan, ”Tarekat kami adalah sesuatu yang langka. Yang menjaga ‘Urwat ul-Wutsqa, ikatan yang tak terputuskan, dan tak meminta apapun dari pengikutnya melainkan untuk selalu memegang teguh Sunnah yang murni dari Rasulullah SAW dan mengikuti jalan para Sahabat dalam ijtihad (usaha untuk Allah SWT) mereka.
“Sekolah Naqsybandi merupakan jalan termudah dan paling sederhana bagi para murid untuk memahami tauhid. Ia mengharuskan pengikutnya untuk mencari peribadatan yang sempurna kepada Allah SWT baik secara umum maupun pribadi dengan jalan melaksanakan adab Sunnah Rasulullah SAW secara sempurna. Juga mendorong orang agar menjalankan jenis ibadah yang paling ketat (‘aziimah) dan untuk mengabaikan keringanan (rukhsah). Juga terbebas dari bias dan bid’ah. Ia tak menuntut pemeluknya untuk terus-menerus berada dalam keadaan lapar dan terjaga. Begitulah Naqsybandiyyah telah mengatur agar tetap terpelihara dari pengaruh-pengaruh orang yang kurang faham dan orang yang pura-pura mengetahui banyak hal (musya’wazan). Ringkasnya, bisa dikatakan bahwa tarekat kami adalah ibu dari semua tarekat dan penunjuk bagi seluruh kepercayaan spiritual. Inilah jalan yang paling aman, paling bijak, serta paling jelas. Inilah maqam pelepas dahaga termurni, saripati yang tersuling. Naqsybandiyyah tak ada hubungannya dengan serangan apapun karena menjalankan Sunnah Rasulullah SAW tercinta.”
Atas izin Syekh kami, Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani QS, Syekh keempatpuluh dalam Silsilah Emas para wali Naqsybandi, kami mempublikasikan sebuah buku serba singkat yang berisikan cahaya dari para Wali Sejati ini, ungkapan-ungkapan bijak mereka, pengajaran-pengajaran mereka, jalan hidup mereka, serta teladan-teladan kewalian mereka. Kami berharap akan mengajak pembaca untuk dapat mengecap kehidupan para Syekh ini, yang menerangi jalan kita akan ilmu tentang Kenyataan dan Kebenaran, akan Cinta kepada Rasulullah SAW tercinta, serta akan tujuan akhir kita, yakni mencapai Hadirat Ilahi Sang Pencipta.
“Kubiarkan air mata mengalir pada malam saat kuingat Engkau Kekasihku; Kuserap dalam lelapku, seluruh pikiran akan Engkau wahai Kekasihku.”
“Untuk apakah mata yang terbuka tetapi tak menatap Engkau;
Berarti apakah air mata mengalir untuk yang selain Engkau.”
“Para pencinta mati pada setiap saat, setiap kematian tak sama.
Pencinta telah diberkahi dua ratus jiwa dari Sang Pembimbing Jiwa,
dan dia korbankan semuanya begitu saja.
Untuk setiap jiwa yang ia korbankan, sepuluh kali lipat ia terima kembali.
-bacalah Al Qur’an: Sepuluh kali lipatnya seperti dalam QS Al-An’aam [6:160]”