20080722

Mencari Tuhan di Internet

Oleh: Eko Supriyanto*

Republika Online
Minggu, 21 Januari 2001


Adakah Tuhan di internet? Bisakah seseorang mengirim pesan kepada Tuhan yang ia percayai melalui suatu 'doa digital' --katakanlah e-mail (surat elektronik)-- di dunia maya itu? Lalu bagaimana, ehmm, Tuhan 'membalas'-nya? Melalui fasilitas in-box, sebagaimana biasanya kita membuka fasilitas kotak e-mail yang ada pada sebuah browser? Apakah yang terjadi seperti laiknya kita memahami 'doa' umumnya?

Bahwa kadang-kadang Tuhan memperhatikan doa kita dan membalasnya dengan cara membuka jalan atas apa yang kita minta itu? Lalu ke 'alamat' mana doa tersebut harus dikirimkan? Barangkali ada baiknya bagi Anda untuk menengok Newprayer.com (http://www.newprayer.com), suatu titik di web yang mencoba mengeksplorasi cara berdoa yang baru, yang sekaligus memberikan penjelasan 'edan' mengapa 'doa digital' itu dimungkinkan.

Situs itu memulainya dengan penjelasan mengenai 'Big Bang' --peristiwa ledakan besar dan secara hipotetis dipercaya sebagai titik awal terbentuknya alam semesta; serta titik terakhir yang 'diketahui' sebagai tempat Tuhan 'bersemayam'. "Kita mempercayai Tuhan adalah pencipta alam semesta," tulis sebuah penjelasan di situs itu. Nah, jika Tuhan adalah sang Maha Pencipta, tentunya Ia 'ada' di sekitar tempat Big Bang itu terjadi (bukankah Dia penciptanya, dan Dia tentu saja harus 'memandori' hingga sistem Big Bang itu berjalan sebagaimana seharusnya?) Logikanya adalah: jika demikian yang terjadi, mengapa manusia tidak mengirim langsung doanya ke arah titik yang paling akhir diketahui manusia sebagai tempat Tuhan bersemayam? Siapa tahu, Tuhan masih ada di sekitar titik tersebut?

Jika Anda sepakat dengan hipotesis ini, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana doa itu bisa sampai ke titik koordinat yang dimaksud?

Mungkin Anda sudah melihat Contact, film yang diadaptasi dari novel fiksi sains karya astronom besar Carl Sagan. Contact bercerita tentang pencarian makhluk lain yang hidup di alam semesta melalui kontak gelombang radio yang dilempar ke kosmos.

Newprayer.com mengirimkan doa digitalnya dengan pendekatan yang mirip. Sebuah alat akan mengubah doa digital menjadi suatu pesan gelombang radio. Sebuah pemancar superkuat akan mengirimkannya ke langit dan kosmos, tepatnya ke titik koordinat yang disebut sebagai 'tempat terakhir Tuhan bersemayam yang sejauh ini diketahui'. Dan, doa manusia pun akan sampai kepada-Nya!

Memang edan. Tapi barangkali Anda akan langsung nyeletuk: "Jika demikian, betapa tak adilnya Tuhan karena hanya penghuni bumi yang terkoneksi ke dunia teknologi digitallah yang bisa mencapai-Nya. Hanya manusia yang memahami segala tetek bengek yang berhubungan dengan Big Bang-lah yang bisa melihat cahaya-Nya. Padahal, bukankah Tuhan ada di mana-mana dan untuk semua?"

Apa internet sebenarnya? "Suatu jaringan komputer cerdas yang memuat segala kesadaran manusia," kata seseorang. "Bukan, internet adalah World Wide Web." "Internet adalah superjaringan. Tapi jika pertanyaan yang sama Anda ajukan kepada Syaikh Hisyam Muhammad Kabbani, seorang tokoh spiritual sufi Naqssyabandiyah yang bermukim di AS, niscaya ia akan menjawab begini: "Internet adalah energi!" Kabbani, sarjana Timur Tengah yang pindah ke Amerika karena tugas guru spiritualnya, melukiskan internet sebagai barang yang tak melulu bersifat teknis --seperti jaringan, superjaringan, superhighway, atau istilah-istilah TI lainnya. Kabbani memberikan internet seperti laiknya tenaga dalam, chi, yin dan yang, tenaga prana, ruh .... Pendeknya, sejenis medium spiritual. Oleh karena itu ia memiliki kaitan erat dengan spiritualitas manusia.

"Spiritualitas adalah sejenis transmisi energi antara umat manusia, jika kita dapat menerimanya --karena manusia adalah penerima dan pemancar pada waktu yang sama. Inilah yang kami lihat di internet dan peralatan canggih yang ada saat ini-- bahwa segala sesuatu bisa menerima dan mengirimnya." (Spiritualitas Cyberspace, Jeff Zaleski, Mizan 1997). Dari penjelasan itu, Kabbani tampaknya mempercayai, bahkan jika Nabi Muhammad pun hidup saat ini, beliau pun akan memanfaatkan internet sebagai pemancar pesan atau energi spiritualitas tersebut ke seluruh umat manusia. Mungkin karena itulah Kabbani membangun suatu situs spiritual yang kaya, yang bisa diakses dalam 11 bahasa.

Dengan cara itu, ia mungkin membayangkan situsnya akan memancarkan energi ke sebelas kelompok manusia dengan bahasa yang berbeda-beda. Jika Anda berselancar secara rutin di ruang maya internet, niscaya Anda akan menemukan makin banyak spiritualis --entah penganut agama-agama yang lazim kita kenal maupun para pengikut aliran New Age-- yang memiliki kedekatan dengan pendapat dengan Kabbani. John Daido Loori, kepala salah satu biara Budha virtual di web, adalah salah seorang di antaranya. Jika Budha mempunyai akses ke komputer, kata Loori dalam buku yang sama, "saya yakin beliau akan menggunakannya." Karena keyakinan ini, maka ia pun membangun sebuah biara Zen di internet.

Charles Henderson, seorang Pastor Kristen Presbyterian dan webmaster atas godweb.com --yang dilukiskan sebagai 'Gereja Cyberspace Pertama'-- mempercayai adanya kemiripan yang dalam antara berselancar di Web dan mempelajari Injil. "Ada suatu kesamaan kuat antara naskah suci yang kita ketahui di Injil dan hiperteks yang ditulis di World Wide Web."

Henderson lalu menyitir satu pesan paling penting dalam New Testament, yakni ayat pembuka "Pada awalnya adalah Kata..." (In the beginning was the Word). "Menurut dia, Word di sini tak merujuk pada Bible atau kata-kata lisan yang kita pahami, tapi kepada 'Logos' dalam pemikiran Yunani --struktur logika yang menjelaskan kosmos dan hubungan semua hal, baik di surga maupun di bumi. Di abad kontemporer dan digital, menurut Henderson, ayat pembuka ini semestinya dibaca seperti berikut: 'In the beginning was the Web'.

Wah, wah! Barangkali karena alasan itulah maka makin banyak naskah suci yang didokumentasikan dalam hiperteks dan Web: Taurat, Injil, Quran, Weda.... Tak cuma itu --dalam arti, internet tak lagi cuma tempat penyimpanan teks-teks suci. Lebih jauh ia pun telah menjadi ruang tempat orang membangun tempat-tempat suci: masjid, gereja, sinagog, kelenteng, atau biara.

Di IslamicCity.com, Anda bisa mengunjungi masjid virtual yang dilengkapi dengan teknologi realplayer --suatu program yang dapat memperdengarkan suara di internet dan bisa di-download secara gratis. Tentu saja suara panggilan adzan, khotbah, pembacaan ayat suci bisa diperdengarkan di masjid virtual tersebut. Situs godweb.com, sebuah gereja virtual, dibangun dengan teknologi serupa: ada khotbah, dialog mengenai keimanan, hubungan antara internet, Tuhan dan agama, nyanyian doa, dan materi-materi keagamaan lainnya.

Para pendekar suci spiritualisme itu seakan tengah berlomba melakukan 'misi penyelamatan'. Di tengah daya pukau ruang maya itu, terutama bagi generasi baru yang berkiblat ke Bill Gates, Andy Groove dan para pionir TI lainnya, mereka berharap bisa mengisi kekosongan (atau mungkin kecabulan?) dunia maya dengan spiritualitas dan agama. Mereka mencebur ke sana, mencoba berperang melawan sebuah jenis kecabulan moral baru di internet: seks, pembunuhan, kekerasan, atau chatting yang menggunakan bahasa-bahasa kasar. Tentu saja ini merupakan satu langkah terpuji meski akhirnya --sebagaimana upaya-upaya baru lainnya-- langkah ini pun memicu kepada pertanyaan-pertanyaan baru ditimbulkan oleh sifat ruang maya itu sendiri.

Pertama-tama, internet tidak mengenal hirarki. Komunikasi di internet tak berlangsung secara hirarkis vertikal dari atas ke bawah, tapi sebaliknya lateral. Di internet, kiai dan orang biasa atau pastor dan pengikutnya memiliki suara yang sama. Dalai Lama dan pengikut-pengikut Budha biasa memiliki suara yang sama. Paus di Vatikan dan pengikut Katolik biasa bisa memiliki suara yang sama. Situs IslamicCity suatu kali mengadakan semacam jajak pendapat keagamaan di internet dengan pertanyaan seperti berikut: apakah menurut Anda pemberlakuan hukum wanita oleh penguasa Taliban sesuai dengan ajaran Islam? Ketika mengetikkan jawaban 'ya' atau 'tidak', internet tak akan mempertanyakan otoritas.

Tidak mempermasalahkan Anda seorang kiai yang mendalami syariah atau bukan. Lalu apa pengaruh ketiadaan hirarki ini dalam spiritualitas manusia? Apakah akan terjadi semacam "demokratisasi" agama? Apa pengaruhnya terhadap agama itu sendiri? Pengertian imam dan makmun? Baik atau buruk?

Soal kedua menyangkut masalah tempat dan kesucian peribadatan. Jika sebuah tempat suci bisa dibangun di sebuah ruang maya, bisakah ia menjadi padanan bagi tempat suci yang sebenarnya di dunia nyata? Apakah sebuah masjid, gereja, atau biara di internet sama seperti manusia memahaminya di alam nyata? Jika ya, apakah suatu sakramen bisa berlangsung di dunia maya? Doa --seperti yang dilakukan Newprayer.com yang dinukil pada awal artikel ini? Shalat? Meditasi? Jika tidak, mana batas-batas yang memiliki padanan di dunia maya dan nyata? Apakah....?

Apa boleh buat, pertanyaan-pertanyaan tersebut harus terhenti di situ karena adzan subuh sudah terdengar dari dua masjid terdekat. Masjid yang satu persis terletak di jalan masuk gang, masjid yang satunya persis di depan meja, di layar monitor, di suatu titik maya di cyberspace, oleh muadzin otomatis yang diprogram sedemikian rupa sehingga memperdengarkan kumandang adzan sesuai dengan waktu shalat subuh kota Jakarta.

* Mantan wartawan, kini Direktur Utama Digital-Ad ()